Perjalanan Ibadah Haji

Perjalanan Ibadah Haji

Kamis, 12 Desember 2013

Jabal Rahmah

Makkah - Ada satu tempat yang tak pernah sepi dari kunjungan para jamaah haji. Tempat itu bernama Jabal Rahmah, suatu gunung yang disebut-sebut punya kisah pertemuan cinta Adam dan Hawa. Bahkan, terdapat monumen yang menandakan romantisme keduanya.

Ada banyak tempat yang menyimpan kisah dan sejarah para nabi di Tanah Suci, Makkah. Jamaah haji pun sering kali melakukan napak tilas dan berdoa di tempat-tempat tersebut dan sekitarnya. Satu tempat yang paling bersejarah adalah Jabal Rahmah.

Dari situs Ministry of Hajj Kingdom of Saudi Arabia, Jumat (11/10/2013) Jabal Rahmah berada di tepi Arafah yang merupakan suatu kawasan di bagian timur luar Kota Makkah. Jabal Rahmah pun tak jauh dari Padang Arafah, tempat para jamaah haji melakukan ibadah wukuf.

Rahmah memiliki arti kasih sayang. Nama tersebut diambil dari suatu kisah yang diyakini umat Muslim, yaitu pertemuan antara Adam dan Hawa. Jadi, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi olah Allah, mereka diturunkan secara terpisah.

Hingga akhirnya, kedua manusia pertama di muka bumi tersebut bertemu di Jabal Rahmah. Untuk mengenangnya, di atas Jabal Rahmah terdapat suatu tugu yang terbuat dari beton persegi empat dengan lebar 1,8 meter dan tingginya 8 meter. Masyarakat setempat percaya, lokasi bertemunya Adam dan Hawa persis di titik tugu tersebut.

Jabal Rahmah sendiri bisa dibilang sebagai bukit. Tingginya hanya sekitar 70 meter saja dan bisa didaki jamaah haji dengan melewati sekitar 160-an anak tangga. Mendaki Jabal Rahmah dari dasar hingga mencapai tugu Adam dan Hawa, biasanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit saja.

Di dekat monumennya, banyak jamaah haji yang berdoa. Ada pula yang terpesona oleh pemandangan Padang Arafah yang bisa dilihat jelas dari atas Jabal Rahmah. Pemandangan cantik yang jadi saksi bisu pertemuan kembali Adam dan Hawa di bumi.

Jabal Rahmah juga jadi tempat bersejarah bagi perjalanan Nabi Muhammad. Di sanalah dirinya menerima wahyu terakhir dari Allah, sekaligus penyempurna dari ajaran Islam.

Banyak yang percaya, jika berdoa minta jodoh di Jabal Rahmah maka permintaannya cepat dikabulkan. Selain itu, sejarah dan pemandangan yang terlihat dari Jabal Rahmah sudah mampu mencuri perhatian jamaah haji.

Sayang, banyak jamaah mencorat-coret tugu Adam dan Hawa. Ingat, jangan sekali-sekali ikut mencoret-coret tugu Adam dan Hawa di sana. Cukup dengan berfoto saja, itu sudah jadi kenang-kenangan tak terlupakan. Selamat mendaki Jabal Rahmah, yang punya kisah romantisme cinta Adam dan Hawa.
Sumber : http://travel.detik.com

Kamis, 03 Oktober 2013

Hijir Ismail: “Pintu Surga” yang Mustajab

HIJIR Ismail adalah salah satu bagian dari Ka’bah yang terletak antara Rukun Syamin dan Rukun Iraqi. Dipagari oleh tembok rendah (al-Hatim) berbentuk setengah lingkaran. Hijir Ismail ini dahulu adalah tapak rumah keluarga Nabi Ibrahim. Di situlah Nabi Ismail tinggal bersama sang ibu, Siti Hajar, dan kemudian menjadi kuburan mereka berdua.
Ketika Ka’bah dipugar oleh suku Quraisy pada tahun 606 M, yaitu sewaktu Nabi Muhammad berusia sekitar 35 tahun, mereka kehabisan dana yang halal untuk dapat membangun Ka’bah seukuran aslinya. Karena itu, mereka mengurangi panjang tembok sisi barat dan sisi timur serta di bagian utara kurang lebih tiga meter. Itulah sebabnya luas Ka’bah menjadi berkurang sedang luas Hijir Ismail menjadi bertambah. Hijir Ismail termasuk bagian dari Ka’bah, karena itu jamaah yang melakukan thawaf harus mengitari pula Hijir Ismail.
Hijir Ismail merupakan bagian Ka’bah yang memiliki keistimewaan tersendiri. “Bagian” ini pun merupakan salah satu tempat mustajab untuk berdoa. Dalam kitab Fi Rihaabil Baitil Haram dikisahkan, pada suatu hari ketika Nabi Ismail menyampaikan keluhan kepada Allah SWT tentang panasnya kota Mekah, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Ismail AS : “Sekarang Aku buka Hijirmu salah satu pintu surga yang dari pintu itu keluar hawa dingin untuk kamu sampai hari kiamat nanti”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Wahai Abu Hurairah, di pintu Hijir Ismail ada malaikat yang selalu mengatakan kepada setiap orang yang masuk dan shalat dua rakaat di Hijir Ismail; kamu telah diampuni dosa-dosamu. Maka mulailah dengan amalanmu yang baru”.
Ibadah yang dapat dilakukan di dalam Hijir Ismail ialah melakukan shalat sunat, berdoa dan berzikir. Keutamaan shalat di Hijir Ismail itu sama dengan shalat di dalam Ka’bah. Ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. yang berbunyi : ‘Dari Aisyah r.a. katanya; ‘Aku sangat ingin memasuki Ka’bah untuk melakukan shalat di dalamnya. Rasulullah SAW membawa Siti Aisyah ke dalam Hijir Ismail sambil berkata, ”Shalatlah kamu di sini jika kamu ingin shalat di dalam Ka’bah, karena ini termasuk sebagian dari Ka’bah”.
Shalat di Hijir Ismail adalah sunnah, dalam arti tidak wajib dan tidak ada kaitan dengan rangkaian kegiatan ibadah haji atau ibadah umrah. Kini Hijir Ismail ini setiap saat dipenuhi hamba-hamba Allah, terutama ketika musim haji. Ditempat ini jamaah shalat, berdoa dan sebagainya. Tempat ini sama mulianya dengan di dalam Ka’bah. Pada saat shalat wajib, tempat ini diisi oleh jenazah-jenazah yang akan dishalatkan, sehingga shalat yang bisa dilakukan di situ adalah shalat sunnah.
Karena keistimewaannya tempat ini selalu penuh. Bagi yang ingin shalat di sini lebih baik tidak sendiri, pergilah berombongan. Pada saat melakukan shalat, lakukanlah bergantian, sebagian shalat sebagian lainnya menjaga di sekitarnya. Karena penuh, desakan dan dorongan terjadi di sini sehingga orang tidak cukup waspada ketika melangkah. Yang ditakutkan adalah ada orang yang tidak sengaja menginjak orang yang dalam keadaan sujud.
Sumber : http://kisuta.wordpress.com (Dadang Sutarjan)

Maqam Ibrahim dan Keutamaannya

Maqam Ibrahim yaitu batu tempat ia berdiri di saat membangun Ka’bah. Karena membangun Ka’bah adalah amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menjadikan jejak kaki Ibrahim sebagai suatu hal yang patut diperingati dan diambil pelajaran oleh anak dan cucunya.
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Sa’id bin Jubair bahwa dia berkata, “Batu itu adalah tempat Nabi Ibrahim berdiri, batu tersebut dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi lunak dan Dia jadikan sebagai rahmat dan Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail mengambilkan batu.”

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyetujuiku dalam 3 hal; aku berkata “Wahai Rasulullah! Andai engkau menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat,

Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” (QS. Al-Baqarah: 125)

At-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari jalur Sa’id bin Abi Urubah dari Qatadah tentang ayat di atas: “Mereka hanya diperintahkan melakukan shalat di sisinya bukan untuk mengusapnya.” Ia (Qatadah) berkata: “Orang-orang yang melihat bekas jejak telapak kaki Nabi Ibrahim di batu tersebut menceritakan kepada kami, bahwa jejak tersebut dahulunya tampak, tetapi orang-orang selalu mengusapnya hingga menjadi licin dan terhapus bersih.”

Maqam ini semenjak zaman Nabi Ibrahim menempel pada Baitullah hingga pada masa khilafah Umar radhiallahu ‘anhu. Ia memindahkannya ke belakang ke tempatnya saat ini. Hal ini diriwayatkan oleh Abdul Raqaq dalam kita “Mushannaf” dengan sanad yang shahih dari Atha dan juga dari Mujahid, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang kuat, semakna dengan lafadz di atas, “Sesungguhnya maqam Ibrahim pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khilafah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu bertaut dengan Baitullah. Kemudian dipindahkan Umar radhiallahu ‘anhu ke belaang, dan para sahabat tidak mengingkari tindakan Umar radhiallahu ‘anhu dan juga orang-orang setelahnya, inai menunjukkan terjadinya Ijma.

Umar radhiallahu ‘anhu melihat bahwa membiarkan maqam tetap pada tempatnya akan berakibat sempitnya kawasan orang yang melakukan thawaf atau shalat, maka ia memindahkannya ke tempat yang dianggap dapat menyelesaikan masalah. Perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu ini sangat dapat dibenarkan karena ia yang mengusulkan untuk menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.
Sumber : http://kisahmuslim.com

Berkunjung ke Jabal Qur'ban









Abdullah Al Jaidi, Haji Memberi Inspirasi Bagi Orang Lain


Menunaikan ibadah haji merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam yang mampu, baik materi maupun fisik. Itulah yang menjadi pegangan Ketua Umum Ormas Islam Al Irsyad Al Islamiyah Abdullah Al Jaidi.

Baginya, ibadah haji tak hanya bermanfaat bagi kekhusyukan pribadi, tapi juga bermanfaat untuk orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.

“Naik haji bisa memberikan suatu inspirasi secara rohaniah,” katanya saat berbincang dengan Republika, beberapa waktu lalu.

Naik haji, kata dia, bisa memberikan semangat bagi orang lain agar mereka bisa menyusul. Menjadikan orang di sekitar tekun bekerja dan bisa mengumpulkan uang untuk membayar biaya haji yang tidak murah tersebut. Mereka pun semakin rajin beribadah agar merasa siap dan menguasai materi ibadah haji.

Bangga dan lega dirasakannya setelah bisa naik haji pertama kali. Ia pun menilai ada perubahan yang terjadi padanya setelah pulang dari haji. Menurutnya, banyak dampak yang positif. “Kualitas keimanan semua ibadah otomatis meningkat,” ujarnya.

Beruntung, ia pun mendapatkan kesempatan untuk naik haji kedua kalinya. Tapi, kali ini ia tak merogoh kocek pribadi untuk membayar biaya haji. Ia mendapatkan kesempatan pergi ke Tanah Suci atas undangan Pemerintah Arab Saudi langsung. “Itu dua tahun yang lalu,” katanya.

Fasilitas yang didapatnya saat naik haji yang kedua kali ini, menurutnya, sangat berbeda. Ia tak ikut rombongan ratusan ribu jamaah haji dari Indonesia seperti dulu. Ia juga diberikan fasilitas eksekutif, mewah, dan semuanya diprioritaskan.

“Namun, ketika mendapat fasilitas eksekutif tersebut, tetap saja tidak mengurangi kekhusyukan karena niat saya adalah hanya beribadah,” jelasnya.

Haji, menurutnya, adalah ibadah yang terasa beda dengan lainnya. Kala berhaji, ia merasakan kekhusyukan ibadah yang terlepas dari urusan duniawi. “Fokus beribadah dan tidak terprovokasi dengan pikiran dunia,” katanya.

Mengunjungi Masjidil Haram, menurutnya, memunculkan perasaan yang sangat mendalam baginya. Ia merasakan kedekatan Sang Khalik begitu terasa.

Ia bercerita, saat naik haji, ia bisa merasakan napak tilas mengunjungi tempat-tempat bersejarah Islam dan merasakan beratnya perjuangan dakwah Rasulullah SAW.

Selain itu, ia juga merasa bangga ketika bertemu dengan saudara sesama Muslim dari berbagai belahan dunia. Selain menjalin hubungan silaturahim, masa-masa ini, menurutnya, penting untuk saling berbagi pengalaman, tantangan dakwah yang dihadapi, serta solusi yang perlu diambil.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Selasa, 01 Oktober 2013

Tempat Bersejarah di Madinah

Masjid Al-Ghamamah dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz di Madinah. Kemudian direnovasi oleh Sultan Mamalik, Hasan bin Muhammad Qalawun Ash-Shalihi tahun 761 H.
Pada masa Sultan Inal (tahun 861 H) dilakukan perbaikan-perbaikan. Setelah itu, Sultan Abdul Majid I melakukan renovasi secara sempurna hingga masa kini, selain perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid dan Pemerintahan Arab Saudi.
Masjid Al-Ghamamah ini berbentuk persegi panjang, terdiri dari dua bagian; jalan masuk dan aula shalat. Jalan masuknya berbentuk persegi panjang dengan panjang 26 meter dan lebar empat meter. Diberi atap dengan lima kubah bola. Memiliki lengkungan runcing.
Di bagian atasnya terdapat kubah tengah yang terpasang di atas jalan masuk masjid bagian luar. Kubah-kubah ini lebih rendah dari enam kubah yang membentuk atap aula shalat. Jalan masuk terbuka di bagian utara di jalan raya melalui lengkungan runcing.
Sementara aula shalat memiliki panjang 30 meter dan lebar 15 meter aula ini dibagi menjadi dua serambi dan diatapi dengan enam kubah dalam dua barisan yang sejajar. Yang paling besar adalah kubah mihrab. Pada dinding aula shalat bagian timur terdapat dua jendela persegi panjang. Pada bagian atasnya terdapat dua jendela kecil dan di atasnya lagi terdapat jendela ketiga berbentuk bulat. Hal yang sama juga terdapat pada aula shalat bagian barat.
Mihrab Masjid Al-Ghamamah berada di tengah dinding aula shalat bagian selatan. Di samping mihrab terdapat mimbar pualam yang memiliki sembilan tangga. Bagian atasnya terdapat kubah berbentuk kerucut. Pintunya berasal dari kayu yang dihias dengan khat utsmani. Sementara itu, menara adzannya berada di sudut barat laut. Bagian bawah menara berbentuk persegi empat setinggi masjid. Kemudian berubah bentuk menjadi persegi delapan, dan berakhir
Di bagian luar, Masjid Al-Ghamamah dihiasi dengan lapisan batu basal hitam. Sementara itu, bagian atas kubahnya dipoles dengan warna putih. Di bagian dalam, dinding dan cekungan kubah dipoles dengan warna putih. Tiang-tiang penyangga masjid dipoles dengan warna hitam sehingga memberikan pemandangan indah pada masjid dengan dua warna yang serasi.
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-ibadah/masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-masjid-al-ghamamah/#sthash.siyBxU3d.dpuf
Masjid Al Ghamamah

Masjid Al Ghamamah terletak sekitar 350 sebelah barat daya Masjid Nabawi. Al Ghamamah berarti awan yang mengandung hujan. Dalam riwayat diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah sholat ‘Ied disini. Karena rasa rindu Rasulullah pada umatnya maka khotbah Beliau menjadi sangat panjang sehingga umatnya menjadi gelisah karena kepanasan. Melihat itu, Rasulullah SAW berdoa sehingga oleh Allah dikirimkan awan Ghumamah untuk menaungi jamah sholat ‘Ied yang kepanasan. Awalnya tempat ini hanya berupa tanah lapang, pada tahun 50H dibangun masjid oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz untuk memperingati kejadian tersebut.

Bangunan yang sekarang adalah peninggalan Sultan Abdul Majid al Utsmani (1839-1861) dari Dinasti Usmani pada sekitar tahun 1270-an H. Renovasi dilakukan pada masa Raja Fahd dari Saudi Arabia tahun 1411H.

Masjid Al-Ghamamah dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz di Madinah. Kemudian direnovasi oleh Sultan Mamalik, Hasan bin Muhammad Qalawun Ash-Shalihi tahun 761 H.
Pada masa Sultan Inal (tahun 861 H) dilakukan perbaikan-perbaikan. Setelah itu, Sultan Abdul Majid I melakukan renovasi secara sempurna hingga masa kini, selain perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid dan Pemerintahan Arab Saudi.
Masjid Al-Ghamamah ini berbentuk persegi panjang, terdiri dari dua bagian; jalan masuk dan aula shalat. Jalan masuknya berbentuk persegi panjang dengan panjang 26 meter dan lebar empat meter. Diberi atap dengan lima kubah bola. Memiliki lengkungan runcing.
Di bagian atasnya terdapat kubah tengah yang terpasang di atas jalan masuk masjid bagian luar. Kubah-kubah ini lebih rendah dari enam kubah yang membentuk atap aula shalat. Jalan masuk terbuka di bagian utara di jalan raya melalui lengkungan runcing.
Sementara aula shalat memiliki panjang 30 meter dan lebar 15 meter aula ini dibagi menjadi dua serambi dan diatapi dengan enam kubah dalam dua barisan yang sejajar. Yang paling besar adalah kubah mihrab. Pada dinding aula shalat bagian timur terdapat dua jendela persegi panjang. Pada bagian atasnya terdapat dua jendela kecil dan di atasnya lagi terdapat jendela ketiga berbentuk bulat. Hal yang sama juga terdapat pada aula shalat bagian barat.
Mihrab Masjid Al-Ghamamah berada di tengah dinding aula shalat bagian selatan. Di samping mihrab terdapat mimbar pualam yang memiliki sembilan tangga. Bagian atasnya terdapat kubah berbentuk kerucut. Pintunya berasal dari kayu yang dihias dengan khat utsmani. Sementara itu, menara adzannya berada di sudut barat laut. Bagian bawah menara berbentuk persegi empat setinggi masjid. Kemudian berubah bentuk menjadi persegi delapan, dan berakhir
Di bagian luar, Masjid Al-Ghamamah dihiasi dengan lapisan batu basal hitam. Sementara itu, bagian atas kubahnya dipoles dengan warna putih. Di bagian dalam, dinding dan cekungan kubah dipoles dengan warna putih. Tiang-tiang penyangga masjid dipoles dengan warna hitam sehingga memberikan pemandangan indah pada masjid dengan dua warna yang serasi.
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-ibadah/masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-masjid-al-ghamamah/#sthash.siyBxU3d.dpuf
Masjid Al-Ghamamah dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz di Madinah. Kemudian direnovasi oleh Sultan Mamalik, Hasan bin Muhammad Qalawun Ash-Shalihi tahun 761 H.
Pada masa Sultan Inal (tahun 861 H) dilakukan perbaikan-perbaikan. Setelah itu, Sultan Abdul Majid I melakukan renovasi secara sempurna hingga masa kini, selain perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid dan Pemerintahan Arab Saudi.
Masjid Al-Ghamamah ini berbentuk persegi panjang, terdiri dari dua bagian; jalan masuk dan aula shalat. Jalan masuknya berbentuk persegi panjang dengan panjang 26 meter dan lebar empat meter. Diberi atap dengan lima kubah bola. Memiliki lengkungan runcing.
Di bagian atasnya terdapat kubah tengah yang terpasang di atas jalan masuk masjid bagian luar. Kubah-kubah ini lebih rendah dari enam kubah yang membentuk atap aula shalat. Jalan masuk terbuka di bagian utara di jalan raya melalui lengkungan runcing.
Sementara aula shalat memiliki panjang 30 meter dan lebar 15 meter aula ini dibagi menjadi dua serambi dan diatapi dengan enam kubah dalam dua barisan yang sejajar. Yang paling besar adalah kubah mihrab. Pada dinding aula shalat bagian timur terdapat dua jendela persegi panjang. Pada bagian atasnya terdapat dua jendela kecil dan di atasnya lagi terdapat jendela ketiga berbentuk bulat. Hal yang sama juga terdapat pada aula shalat bagian barat.
Mihrab Masjid Al-Ghamamah berada di tengah dinding aula shalat bagian selatan. Di samping mihrab terdapat mimbar pualam yang memiliki sembilan tangga. Bagian atasnya terdapat kubah berbentuk kerucut. Pintunya berasal dari kayu yang dihias dengan khat utsmani. Sementara itu, menara adzannya berada di sudut barat laut. Bagian bawah menara berbentuk persegi empat setinggi masjid. Kemudian berubah bentuk menjadi persegi delapan, dan berakhir
Di bagian luar, Masjid Al-Ghamamah dihiasi dengan lapisan batu basal hitam. Sementara itu, bagian atas kubahnya dipoles dengan warna putih. Di bagian dalam, dinding dan cekungan kubah dipoles dengan warna putih. Tiang-tiang penyangga masjid dipoles dengan warna hitam sehingga memberikan pemandangan indah pada masjid dengan dua warna yang serasi.
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-ibadah/masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-masjid-al-ghamamah/#sthash.siyBxU3d.dpuf




Masjid Ali Bin Abi Thalib – Madinah


Masjid Ali bin Abi Thalib terletak di sebelah barat Masjid Nabawi sejauh sekitar 290 meter dan sekitar 122 meter dari Masjid Ghamama. Menurut riwayat, Nabi pernah sholat Ied di tempat ini. sementara riwayat yang lain menyebutkan bahwa masjid ini dibangun di teratak rumah Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Lokasinya berdekatan dengan Masjid Abu Bakar, Masjid Ghamama. Saat ini masjid ini dipagar tinggi sehingga tidak bisa dimasuki dan didalamnya terdapat beberapa pohon kurma yang asri. 

Masjid ini dibangun pada masa Umar bin Abdul Aziz memerintah Madinah. Kemudian direnovasi oleh Gubernur Dhaigham Al-Manshuri, Gubemur Madinah tahun 881 H. Setelah itu juga direhab oleh Sultan Abdul Majid I, tahun 1269 H. Lalu direnovasi oleh Raja Fahd pada tahun 1411 H sehingga luasnya mencapai 682 m2 dengan menara setinggi 26 meter. Jika diperhatikan, menara Masjid Alibin Abi Thalib serupa dengan menara Masjid Umar bin Khattab. 
Masjid ini berbentuk persegi panjang. Dari timur ke barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; timur dan barat dengan satu kamar kecil. Memang tidak ada keistimewaan ataupun anjuran untuk sholat di masjid ini bagi para jemaah Haji ataupun Umrah, karena memang pembangunannya ditujukan bagi mengenang Khalifah Ali Bin Abi Thalib, khalifah ke empat atau terahir dari empat Khulafaur Rasyidin.
Mihrabnya berada di tengah dinding kiblat. Tingginya mencapai tiga meter. Cekungannya kira-kira 1,25 meter. Menara masjid berdiri tegak di sebelah timur dekat dengan jalan masuk masjid, tidak terlalu tinggi dan memiliki satu balkon. Berakhir dengan bentuk kerucut dari logam.  Masjid Ali bin Abi Thalib dibangun dengan batu basal dan dicat dengan warna putih. Dinding sebelah timurnya dihias dengan batu hitam.

 
Masjid Abu Bakar Shiddiq berada di sebuah jalan lebar di barat daya Masjid Nabawi, dekat dengan Masjid Al-Ghamamah.
Masjid ini merupakan salah satu tempat yang pernah digunakan untuk shalat ‘Id oleh Rasulullah dan Abu Bakar Shiddiq, kemudian nama masjid ini pun dinisbahkan kepadanya. Masjid Abu Bakar Shiddiq dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalu direnovasi oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1254 H.
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-ibadah/masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-masjid-abu-bakar-shiddiq/#sthash.ISk5G6qw.dpuf

Masjid Abu Bakar Shiddiq berada di sebuah jalan lebar di barat daya Masjid Nabawi, dekat dengan Masjid Al-Ghamamah.
Masjid ini merupakan salah satu tempat yang pernah digunakan untuk shalat ‘Id oleh Rasulullah dan Abu Bakar Shiddiq, kemudian nama masjid ini pun dinisbahkan kepadanya. Masjid Abu Bakar Shiddiq dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalu direnovasi oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1254 H.
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-ibadah/masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-masjid-abu-bakar-shiddiq/#sthash.ISk5G6qw.dpuf
Masjid Abu Bakar Shiddiq berada di sebuah jalan lebar di barat daya Masjid Nabawi, dekat dengan Masjid Al-Ghamamah.
Masjid ini merupakan salah satu tempat yang pernah digunakan untuk shalat ‘Id oleh Rasulullah dan Abu Bakar Shiddiq, kemudian nama masjid ini pun dinisbahkan kepadanya. Masjid Abu Bakar Shiddiq dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalu direnovasi oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1254 H.
Masjid Abu Bakar Shiddiq berbentuk segi empat. Panjang rusuknya sembilan meter. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang.
Jalan masuk langsung mengantarkan jamaah menuju ruang shalat. Ruang shalatnya beratapkan kubah yang dari dalam, tingginya mencapai 12 meter. Di bagian atas leher kubah terdapat delapan jendela kecil untuk penerangan. Mihrabnya terletak di tengah dinding masjid sebelah selatan dengan tinggi ± 2 meter. Luas cekungan (celah) mihrab sekitar 80 cm.
Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah.
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-ibadah/masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-masjid-abu-bakar-shiddiq/#sthash.ISk5G6qw.dpuf
Masjid Abu Bakar Shiddiq berada di sebuah jalan lebar di barat daya Masjid Nabawi, dekat dengan Masjid Al-Ghamamah.
Masjid ini merupakan salah satu tempat yang pernah digunakan untuk shalat ‘Id oleh Rasulullah dan Abu Bakar Shiddiq, kemudian nama masjid ini pun dinisbahkan kepadanya. Masjid Abu Bakar Shiddiq dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalu direnovasi oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1254 H.
Masjid Abu Bakar Shiddiq berbentuk segi empat. Panjang rusuknya sembilan meter. Dibangun dengan batu basal. Bagian dalam dicat dengan wama putih. Jalan masuknya berada di dinding selatan. Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk terdapat dua jendela persegi panjang.
Jalan masuk langsung mengantarkan jamaah menuju ruang shalat. Ruang shalatnya beratapkan kubah yang dari dalam, tingginya mencapai 12 meter. Di bagian atas leher kubah terdapat delapan jendela kecil untuk penerangan. Mihrabnya terletak di tengah dinding masjid sebelah selatan dengan tinggi ± 2 meter. Luas cekungan (celah) mihrab sekitar 80 cm.
Menara adzannya berada di sudut timur laut. Bagian fondasinya memiliki area persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan muqamas penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah timur Masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang dengan panjang dari utara ke barat mencapai 13 meter dan lebar enam meter. Pintu dari arah utara menghampar ke halaman Masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah timur dilapisi batu hitam. Kubah menaranya dicat dengan warna putih sehingga dua warna terpadu dengan serasi dan indah.
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-ibadah/masjid-masjid-bersejarah-di-madinah-masjid-abu-bakar-shiddiq/#sthash.ISk5G6qw.dpuf

Antri makan di Mina



Thawaf

Dalam pengertian umum ibadah thawaf adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali, dimana putaran pertama dengan lari-lari kecil (jika mungkin), dan selanjutnya dengan berjalan biasa, thawaf dimulai dan berakhir di garis sejajar dengan batas Hajar Aswad. Posisi ka’bah ketika Thawaf adalah disebelah kiri tubuh kita.
Thawaf Rasulullah SAW, dari Ibnu Umar RA menceritakan ;
“Dahulu apabila Rasulullah melaksanakan thawaf yang pertama (Qudum, atau selamat datang), beliau berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat putaran selanjutnya”.

Thawaf terdiri dari empat macam yaitu Thawaf Ifadah, Thawaf Qudum, Thawaf Wada dan Thawaf Sunat .
  • THAWAF IFADHAH    : Semua ulama menetapkan bahwa Thawaf Ifadhah adalah rukun haji tidak boleh di tinggalkan karena dapat membatalkan haji. Thawaf ini juga disebut Thawaf Ziarah atau Thawaf Rukun.
  • THAWAF QUDUM    : Disebut juga Thawaf Dukhul yaitu thawaf pembukaan atau Thawaf selamat datang yang dilakukan pada waktu jama’ah baru tiba di Mekah. Rasul setiap kali masuk Masjidil Haram lebih dulu melakukan thawaf sebagai ganti shalat tahiyyatul masjid. Maka thawaf inipun disebut juga Thawaf Masjidil Haram.
  • THAWAF WADA’    : Dilakukan pada saat akan meninggalkan Mekah yang biasanya dilakukan untuk menghormati Baitullah karena akan berpisah. Hukum Thawaf Wada adalah wajib, sehingga kalau tidak dikerjakan wajib membayar dam (menyembelih kambing). Thawaf ini di sebut juga Thawaf Perpisahan. Thawaf wada’ merupakan penutup dari kewajiban – kewajiban haji yang seorang haji wajib melakukannya sebelum pergi menuju negerinya atau meninggalkan kota Mekkah.
Rasulullah saw yang bersabda :
“Janganlah seseorang diantara kalian itu pergi (meninggalkan Mekkah) sampai penutupannya itu di ka’bah”.
“Tiada ampunan meninggalkan thawaf wada’ kecuali bagi yang sedang haid maupun nifas”.
  • THAWAF SUNAT    : Adalah thawaf yang bisa dilakukan kapan saja. Kalau dilakukan saat baru memasuki Masjidil Haram, thawaf ini berfungsi sebagai pengganti shalat Tahiyatul Masjid . Thawaf sunat inilah yang di maksud atau di sebut Thawaf Tathawwu’.
 Sumber : (http://insanitravel.com/index.php?option=com_content&view=article&id=58&Itemid=35&   limitstart=3)